Categories
Biblika

Keberanian Revolusi Kebenaran

Keberanian revolusi kebenaran adalah gerakan moral dan langkah nyata yang menuntut berdiritegaknya sikap dan ketetapan hati orang-orang pembawa pembaruan.

“Lalu mereka memajukan saksi-saksi palsu yang berkata: ‘Orang ini terus-menerus mengucapkan perkataan yang menghina tempat kudus ini dan hukum Taurat, sebab kami telah mendengar dia mengatakan, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita.’” (Kis. 6:13-14).

Ketika pembaruan diketengahkan, alih-alih sambutan sebagai solusi diberikan tetapi justru diperhadapkan dengan Primordialisme berkekuatan mayoritas dan keras. Keberanian revolusi kebenaran adalah gerakan moral dan langkah nyata yang menuntut berdiritegaknya sikap dan ketetapan hati orang-orang pembawa pembaruan.

Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Ketika pembaruan diketengahkan, alih-alih sambutan sebagai solusi diberikan tetapi justru diperhadapkan dengan Primordialisme berkekuatan mayoritas dan keras.

Menyikapi upaya peradilan yang nampaknya tidak berimbang dan jauh dari kata “adil”, dua komentar berikut ini memberikan pandangan dan argumen praktis bagi orang-orang yang siap melakukan pembaruan tanpa ketakutan demi kebenaran.

Komentar yang pertama adalah mengenai Hukum Taurat. Hukum Taurat di sini mengacu pada hukum Musa. Ini jelas merinci sifat penghujatan dalam pasal 6:11 yang berbunyi, “Lalu mereka menghasut beberapa orang untuk mengatakan: ‘Kami telah mendengar dia mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan Allah.'” Di dalam Taurat, apabila seseorang berbicara melawan hukum Allah maka itu identik dengan menghujat Allah (Ul. 28:15-19).

“Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang kepadamu dan mencapai engkau: Terkutuklah engkau di kota dan terkutuklah engkau di ladang. Terkutuklah bakulmu dan tempat adonanmu. Terkutuklah buah kandunganmu, hasil bumimu, anak lembu sapimu dan kandungan kambing dombamu. Terkutuklah engkau pada waktu masuk dan terkutuklah engkau pada waktu keluar.”(Ul. 28:15-19 ITB)

Pengadilan dalam perspektif Yahudi sebenarnya sangat menentang adanya bukti-bukti atau pun saksi-saksi palsu. (lihat Keluaran 20:16)

“Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.”(Kel. 20:16 ITB)

Kebenaran harus diuji di hadapan ketidakberadilan dan ketimpangan argumen hukum.

Dalam Kisah Para Rasul 7, sebagian besar ayat-ayat ini merupakan rekaman pidato Stefanus (sebanyak 60 ayat, bukan 60 detik) perihal bait suci yang dituduhkan kepadanya dengan pasal penghujatan dan penodaan agama. (Bacalah Kis. 7:1-60).

Komentar yang kedua adalah tentang frasa “Akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat.” Stefanus muncul untuk memperlihatkan bait suci sebagai tempat yang kurang sentral dalam terang karya Kristus. Sebuah tantangan penting bagi agama Yahudi, karena pada saat itu Yahudi merupakan bangsa dan negara yang berpusat pada bait suci dan pada agama.

Lain halnya pada Kis. 3-4, peristiwa ketika Petrus dan Yohanes bersembahyang di Bait Allah dan melakukan mukjizat serta mengajar dengan kuasa nama Yesus (otoritas baru); tetapi pokok permasalahan di sini lebih dari sekedar Yesus dan kebangkitan-Nya. Justru sekarang dampak kebangkitan-Nya dan sentralitas bait suci juga menjadi masalah. Alih-alih “kelalaian” tuduhan tersebut mungkin bukan karena para saksi berbohong, tetapi mereka secara salah membaca kebenaran ucapan Stefanus.
Sementara di sisi lain, sebelum Stefanus berpidato di pasal 7, apa yang terjadi dengan dirinya seperti yang dicatat pada ayat penutup pasal 6 ini (ayat 15) menunjukkan dari kuasa (otoritas) manakah ia berbicara; sama persis seperti Petrus dan Yohanes. “Semua orang yang duduk dalam sidang Mahkamah Agama itu menatap Stefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat.” (ayat 15). Wajahnya seperti wajah malaikat. Gambaran naratif tentang wajah Stefanus ini menambah suasana hati (mood) pada berita dari seluruh pasal ini. Dia memang memiliki penampilan supernatural; pembawa pesan surgawi.

Paradigma lama mampu berkuasa. Ia akan mengakar, mengurat-nadi dan mendarah-daging dalam jiwa seseorang; atau bahkan ada yang paling konyol, sebatas ikut-ikutan saja. Ini bukanlah hal sepele. Ini benar-benar dibutuhkan suatu kebenaran dan sebuah keberanian untuk mendobraknya. Segera dan mendesak!

Untuk ini, dibutuhkan orang-orang dengan tekad besar untuk melantangkan suara keberanian untuk me-revolusi kebenaran di mana di sana dituntut berdiritegaknya sikap dan ketetapan hati orang-orang pembawa pembaruan.

Lihat semua di kategori: Biblika

Photo by Benjamin Davies on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *