Sosok Legendaris
Kiai Ngabdullah: penginjil pribumi merupakan sosok legendaris dan penting dalam sejarah pembentukan komuntas Kristen di tanah Jawa. Riwayat-singkat kehidupannya memberi kesan bahwa ia seorang yang bersahaja namun juga berwibawa. Catatan Residen Jepara mengatakan bahwa Kiai Ngabdullah adalah seorang petani yang dilahirkan di Kawedanan Juwono, Kediri pada permulaan abad XIX. [ref]C. Guillot. 1985. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. hlm. 42-44[/ref]
Keterangan lain dicatat oleh Dr. Th. van den End yang menyatakan bahwa Kiai Tunggul Wulung berasal dari daerah Juwono (dekat Gunung Muria) dan bernama asli Kiai Ngabdullah. Ketika itu, akibat keadaan ekonomi yang sulit di daerah tersebut maka Kiai Ngabdullah berpindah dan menjadi seorang petapa di lereng Gunung Kelud. End juga mencatat bahwa Kiai Ngabdullah dipandang orang sebagai penjelmaan seorang tokoh pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, yaitu seorang jenderal yang bernama Tunggul Wulung.[ref]Th. van den End. 1996. Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 206-207. ISBN 9789794151884.[/ref]
Sedangkan, J.D. Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul Babad Zending ing Tanah Jawi menggambarkan sosok Tunggul Wulung sebagai seorang petapa di Gunung Kelud yang kemudian melakukan pekabaran Injil di desa-desa dekat Malang, Jawa Timur, Hindia-Belanda. [ref]J.D. Wolterbeek. 1939. Babad Zending ing Tanah Jawi. Purwokerto: De Boer. hlm. 44-45[/ref]
Berpengaruh namun Tetap Bersahaja
Menurut tradisi lisan yang beredar di sekitar Muria, Kiai Tunggul Wulung adalah anak seorang selir Raden Ngabehi Atmasudirdja (Bupati Pulisi Pura Mangkunegaran) yang dilahirkan kira-kira pada tahun 1800 dengan nama asli Raden Tandakusuma.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Ia kemudian menjadi seorang demang di kawasan Kediri dengan nama Raden Demang Padmadirdja tetapi karena keterlibatannya dengan Perang Diponegoro 1825-1830, maka ia menyembunyikan diri dan menjadi rakyat jelata di kawasan Juwono, Kediri.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Petani Sederhana namun Prajurit Pemberani
Semua gambaran mengenai ciri fisik Kiai Tunggul Wulung sama sekali tidak mengarah pada kesimpulan bahwa ia hanyalah seorang petani biasa dengan tubuh tinggi dan ramping, wajah tampan, mata yang tajam, dsb.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Mengenai hal ini, A.G. Hoekema menyatakan bahwa sikap Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang sering membangkang terhadap orang Belanda menunjukkan bahwa kemungkinan ia berasal dari golongan bangsawan atau priyayi.[ref]A.G. Hoekema. 1980. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung (1800-1885): Apollos Jawa; dalam Peninjau Tahun VII Nomor 1. hlm. 5-7[/ref] Oleh sebab itu, pernyataan Kiai Ngabdullah mengenai pekerjaannya sebagai petani, seperti yang tercatat di dalam laporan-laporan Residen Jepara, mungkin saja sengaja dibuat dengan maksud untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai pengikut Diponegoro.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Perjumpaan dengan Kekristenan
Di beberapa sumber diceritakan bahwa Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memperoleh petunjuk untuk mempelajari kekristenan dengan cara yang unik dan aneh.[ref]J.D. Wolterbeek. 1939. Babad Zending ing Tanah Jawi. Purwokerto: De Boer. hlm. 44-45[/ref] Dalam bukunya, Wolterbeek mencatat bahwa pada suatu hari di dalam pertapaannya di kawasan Gunung Kelud, Kiai Tunggul Wulung menemukan sepotong kertas yang bertuliskan Sepuluh Hukum Tuhan.[ref]J.D. Wolterbeek. 1939. Babad Zending ing Tanah Jawi. Purwokerto: De Boer. hlm. 44-45[/ref]
Di sana pula, Tunggul Wulung mendapat wahyu dari Tuhan yang mengatakan bahwa ia harus menaati hukum itu dan disarankan meminta penjelasan tentang agama yang sejati kepada orang-orang yang tinggal di Sidoarjo dan Mojowarno.[ref]Lawrence M. Yolder (ed). 1977. Bahan Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa. Pati: Komisi Sejarah Gereja GITJ. Hlm. 56-57. OCLC 804466469.[/ref] Th. van den End mencatat bahwa pada masa itu Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen dengan cara yang tidak diketahui dengan pasti, namun baik di Ngoro maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari Gunung Kelud.
Pada tahun-tahun 1840-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut kebatinan.[ref]Th. van den End. 1996. Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 206-207. ISBN 9789794151884.[/ref] Lebih lanjut, End mengisahkan bahwa bagaimanapun juga pada tahun 1853 Tunggul Wulung muncul di Mojowarno dan dua tahun kemudian dia pun dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama-baptis Ibrahim.[ref]Th. van den End. 1996. Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 206-207. ISBN 9789794151884.[/ref]
Ngelmu dan Secarik Kertas
Di lain pihak, tim Penulis Sejarah GITJ mencatat bahwa perkenalan Tunggul Wulung dengan kekristenan terjadi dalam beberapa tahapan.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Tahap pertama terjadi ketika Tunggul Wulung yang pada saat itu masih menjadi seorang pencari ngelmu[ref]Dalam budaya Jawa, pandangan hidup yang lazim disebut ilmu kejawen dalam kesusastraan Jawa dikenal pula sebagai Ngelmu Kasampurnan. Ngelmu Kasampurnan adalah Kebatinan atau dalam pengertian universal disebut spiritualitas, istilah lainnya: Ngelmu Sejati atau Kasunyatan. Orang yang mempelajari spiritualitas adalah orang dewasa yang telah matang jalan pikirannya. Tingkatan Ngelmu dalam Kejawen: (1) Tradisi dan Ritual, (2) Tata krama, tata susila, (3) Sikap dan perilaku kehidupan yang dipandu oleh Budi Pekerti, (4) Hal-hal yang dikategorikan sebagai supranatural, (5) Tataran tertinggi ialah Ngelmu Kasampurnan atau Kebatinan atau Spiritualitas.[/ref]. bernama Kiai Ngabdullah sedang meninggalkan kota Juwono menuju desa Lo Ireng, Semarang. Di tengah perjalanannya tersebut ia berkenalan dengan kekristenan melalui sahabatnya yang menjadi bagian dari kelompok orang Kristen hasil penginjilan Pendeta Bruckner yang tinggal di Semarang. Perjumpaan tersebut tidak banyak memberikan pengaruh bagi Kiai Ngabdullah sebab tidak lama setelah itu Kiai Ngabdullah ditangkap dengan tuduhan melarikan kuda milik Controlir Juwono yang dipakai olehnya untuk meninggalkan Juwono menuju Semarang.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Tahap kedua terjadi ketika Kiai Ngabdullah berhasil lolos sebagai orang perantean (mungkin buronan) menuju ke tempat pembuangan di Sulawesi dan sudah tinggal di lereng Gunung Kelud sebagai petapa dengan nama Kiai Tunggul Wulung.[ref] Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733 [/ref] Ia bergaul dengan seorang petapa yang bernama Nyi Endang Sampurnawati (di kemudian hari Nyai Endang Sampurnawati menjadi pasangan hidup Kiai Tunggul Wulung dan menetap di Mojowarno) yang konon adalah putri Bupati Kediri dan mulai lebih banyak mengenal ngelmu Kristen.
Refleksi perjumpaannya dengan kekristenan itulah yang digambarkan melalui legenda bahwa pada suatu hari Kiai Ngabdullah menemukan di bawah tikar alas tidurnya secarik kertas bertuliskan Sepuluh Perintah Allah disertai wahyu yang membisikkan petunjuk untuk mencari penjelasan ke arah timur laut.[ref]Lawrence M. Yolder (ed). 1977. Bahan Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa. Pati: Komisi Sejarah Gereja GITJ. Hlm. 56-57. OCLC 804466469.[/ref]
Ajaran dan Budaya “Kristen Jawa”
“Kristen Jawa” versi Tunggul Wulung menjadi suatu ajaran dan budaya mengenai Kekristenan yang sangat khas. Ini dilatarbelakangi oleh identitas Kiai Tunggul Wulung sebagai seorang petapa dan pencari ngelmu.
Ajaran Kristen Jawa
Menurut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Ratu Adil yang selama ini diharap-harapkan kedatangannya oleh orang Jawa tidak lain adalah Kanjeng Nabi Isa Rohullah.[ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref] Yesus Kristus menurutnya akan datang untuk kedua kalinya untuk memerintah kerajaan-Nya sebagai Ratu Adil dalam Kerajaan Seribu Tahun.
Budaya Kristen Jawa
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memandang bahwa orang Kristen Jawa haruslah tetap Jawa dan tidak perlu menjadi seorang Belanda ataupun menjadi pengikut utusan Injil Eropa pada waktu itu.[ref]C. Guillot. 1985. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. hlm. 42-44[/ref] Oleh sebab itu, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menyatakan bahwa lelagon (nyanyian), tata panembah (upacara), cara panganggo (cara berpakaian), nanggap lan nonton wayang (ikut serta dalam pertunjukkan wayang), bahkan rapal dan primbon tidaklah perlu ditinggalkan.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga menciptakan doa atau rapal baru yang bercorak Kristen. Mantra/rapal dalam bahasa Jawa tersebut berbunyi demikian:
Bapa Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah
Telu-telune tunggal dadi sawiji
Lemah sangar kayu angker
Upas racun pada tawaI
di Gusti manggih slamet salaminya
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci
Ketiganya menjadi satu
Kawasan yang berbahaya, pohon yang jahat
Segala racun-bisa akan menajdi tawar
Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya
Konsep Pelepasan vs. Konsep Penebusan
Injil keselamatan bagi Tunggul Wulung merupakan suatu konsep tentang pelepasan dan bukan penebusan seperti yang didengung-dengungkan oleh para pekabar Injil Eropa. Bagi masyarakat Jawa pada saat itu, yang menakutkan hidupnya bukanlah penghukuman yang berasal dari Tuhan akibat dosa-dosa manusia melainkan pelepasan dari ketakutan terhadap kuasa jahat yang kemudian diperluas sebagai pelepasan dari kerja paksa dan perbudakan oleh bangsa asing. Pelepasan tersebut telah terjadi melalui Yesus Kristus, oleh sebab itu berserah kepada Allah berarti terlepas dari kuasa jahat dan segala jenis perbudakan.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung pernah menulis surat kepada Jellesma yang menginginkan agar desa-desa Kristen yang didirikannya terbebas dari pekerjaan untuk pemerintah kolonial selama tiga puluh tahun,. [ref]Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. ISBN 9798361733.[/ref]
Penutup
Karya besar Kiai Ibrahim Tunggul Wulung terukir dalam sejarah penginjilan Nusantara. Ia telah menanamkan ajaran Kristus melalui jalan kebudayaan, ngelmu dan kearifan lokal yang justru membuat jemaat Kristen Jawa jauh lebih besar jumlahnya dibanding jemaat Kristen Londo (Belanda) yang dihimpun oleh para penginjil Barat.
Seiring usianya yang kian senja, sejak 1875 Ibrahim Tunggul Wulung tinggal di sekitar Gunung Muria sampai tutup usia pada 1885. Ketika ia wafat, jumlah pengikut Kristen di desa tersebut mencapai 1.058 orang. Selepas kematiannya, tak semua jemaat mengikuti warisan pemikiran Ibrahim Tunggul Wulun. Jansz menyebut, beberapa dari mereka mulai membelot dengan mendekati orang-orang Belanda untuk belajar kekristenan di bawah naungan Gereja Belanda.
Namun demikian, metode-metode khas yang diterapkan oleh Kiai Tunggul Wulung, yakni jejagongan [ref]Duduk bersama, bersantai, bercerita sambil melepas lelah seusai bekerja sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengarkan pidato-pidato ataupun ceramah seperti yang dilakukan oleh para penginjil Eropa[/ref] dan debat ngelmu[ref]Soetarman Soediman Partonadi. 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualisasinya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 51-52. ISBN 9796870282.[/ref], kemudian diadopsi oleh Kiai Sadrach yang adalah murid dari Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Bahkan, Kiai Sadrach mampu membangun jemaat yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh Tunggul Wulung dan menamainya sebagai Golongan Wong Kristen Kang Mardika yang dapat diartikan sebagai kelompok orang-orang Kristen yang bebas.